Penyesalan selalu
datang di akhir
Kurebahkan tubuh diatas kasur kapuk yang
telah menemaniku sejak lahir. Untuk kesekiankalinya, aku menatap gambar gambar
motor Harley Davidson di dinding kamarku. Seandainya aku bias memiliki motor
meski bukan yang aku inginkan, aku pasti akan merasa senang, Kesempatan itu
akan hampir aku dapatkan, seandainya si kakek mengalah untuk cucunya. Tapi
angan itu kembali terhempas.
Pikiranku terus terusik akan pertengkaranku
dengan kakek tadi siang, Hampir semua warga di sini akan menjual sawah mereka
kepada seorang konglomerat asing, Tapi kakek tetap bersikukuh untuk tidak
menjual sawahnya, mungkin aku bisa mewujudkan keinginanku untuk memiliki sepeda
motor. Hal ini membuat aku kesal.
Konglomerat asing itu akan membuat pabrik
tekstil di kampung kami, Letak kampung kami memang dekat dengan pusat kota,
mungkin kondisi ini dianggap strategis untuk membangun sebuah pabrik teksil.
Konglomerat asing itu akan membangun diatas persawahan dan yang dekat dengan
jalan. Itu berarti akan menyita hampir separu Persawahan di kampung kami, Sawah
kakek sangat dekat dengan jalan raya, karenanya, konglomerat bersedia membayar
2 kali lipat disbanding sawah petani lain,Tapi kakek tetap tidak mau
menjualnya. Entah apa yang ada dipikiran kakek, padahal aku sudah memaksa kakek
untuk mau menjual sawahnya agar aku bisa beli motor.
Aku
sudah bosan pulang pergi sekolah naik angkot, panas, bau, dan paling
menyebalkan buatku se angkot dengan ibu ibu yang suka ngegosip. Meski tidak mau
mendengar, tetap nyangkut di telinga ini. Kalau harus berhadapan dengan
perempuan yang pake rok mini. Hampir meruntuhkan keimananku. Apalagi usiaku
masih remaja, saat darah muda masih menggejolak.
“Ingat,
Guh! Kendaraan setiap tahun bisa terus bertambah jumlahnya. Kamu bisa
membelinya kapanpun kalau punya uang, bahkan bisa beli dengan kredit. Tapi
sawah, setiap tahun terus berkurang karena banyak yang dijadikan rumah,
pertokoan, dan pabrik-pabrik. Saat itu kamu tidak akan bisa membeli sawah meski
kamu punya uang. Kalau kita tidak bisa mempertahankan sawah-sawah yang masih
ada, bagaimana nasib generasi yang akan
dating? Dari mana mereka akan makan, jika kehilangan lahan untuk menanam bahan
makanan?” begitu kakek memberi alas an
kepadaku tadi siang.
“ Tapi
aku tidak ingin membeli sepeda motor, kek!”. Sergahku, “aku ingin pergi ke
sekolah mengendarai motor sendiri, bukannya naik angkot!”.
“Kakek ngerti ,Guh! Tapi tidak mungkin kita
menjual harta kita yang hanya satu satunya ini untuk membeli sepeda motor yang
menurut kakek belum terlalu dibutuhkan . Suatu saat, kalau kita punya rizki,
Insya Allah kakek belikan sepeda motor untukmu karena kakek juga ingin
membahagiakan kamu dan almarhum orang tuamu. Tapi yang penting sekarang,bagaimana
agar kita bisa tetap makan untuk hari ini dan beberapa tahun ke depan dari
hasil panen kita. Kamu toh bisa sekolah meski tanpa sepeda motor. Kakek
berharap, kamu bisa sedikit lebih bersabar dengan keadaan kita yang pas pasan
seperti ini. “
Sabar? Ini sih bukan masalah sabar! Aku rasa,
aku sudah cukup sabar. Selama dua tahun duduk di bangku SMA,aku tidak pernah
mengeluh meski pulang pergi naik angkot. Karena aku sadar, sebagai pedagang
bakso keliling, pemghasilan kakek tidak seberapa, hanya cukup dengan makan saja
sudah Alhamdulillah. Tapi sekarang disaat ada peluang untuk membeli motor
dengan menjual sawah, kakek tidak menjual sawahnya. Kapan lagi peluang ini
dating lagi? Kesempatan ini jarang datang 2 kali. Aku masa harus menikmati masa
masa SMA ku ini dengan kesedihan, aku juga ingin merasakan trend masa kini. Apa
aku harus nebeng kepada teman? Mereka kan pasti bosan dengan aku menumpang
mereka.
“ Assalammualaikum”. Sebuah suara tiba tiba
terdengar di depan pintu rumah. Aku kenal suara itu pasti dia rangga karibku.
Tadi siang dia berjanji akan membujuk kakek untuk menjual sawahnya.
“Walaikumsalam!”. Balas kakek sambil membuka
pintu . Aku sengaja tidak keluar kamar agak heri leluasa mengobrol bebas dengan
kakek. Setelah berbasa basi ngobrol tentang banyaknya warga kampung yang akan
menjual sawahnya, akhirnya rangga membujuk kakek.
“Kek, jual sajalah sawahnya, agar nanti aku
sama Guguh sama sama mempunyai motor, kan kakek bisa di antar kemana mana sama
Guguh, lebih sedikit manfaatnya kek!”.
“Benar
nak rangga! Sawah itu ga bisa di bawa kemana mana dan manfaat nya pun sedikit”.
Ungkap kakek
Mungkin
kakek sudah mulai sadar dan berubah pikiran. Guramku, sambil terus mendengarkan
pembicaraan kakek dengan rangga. Aku yakin kali ini kakek pasti akan mau
menjual sawahnya kepada konglomerat itu.
“Tapi
nak rangga! Sepeda motor kan banyak butuh biaya, pertama kita harus beli
motornya terlebih dahulu, pasti diatas 10 juta, harus ada perawatanya, mana
sekarang BBM naik , minimal harus isi bensin kalau mau jalan. Sedang sawah
tidak banyak biaya. Kalau toh ada pengeluaran untuk beli bibit dan pupuk tapi
kita bisa berharap uang itu bisa kembali kepada kita atas hasil panen sawah
kita. Motor hanya mengeluarkan biaya, kecuali di Ojek kan, Nak rangga mau jadi
ojek! Pasti anak jaman sekarang susah berusaha .
Huh….
Aku kira kakek bisa terpengaruh oleh rangga. Namun ternyata, kakek tadi belum
selesai berbicara, ternyata jauh dari harapan.
“ Kalau
saya sama keluarga, setelah beli motor akan jalan jalan, nyobain motor! Jenuh
kan kita harus butuh penyegaran keliling keliling kampung sambil melihat
pemandangan di kampung. Rangga mulai memanas mana kakek.
“Kek, Guguh pasti senang kalau ikutan jalan
jalan bareng kami! Apa kakek tidak mau membahagiakan cucu kakek, melihat cucu
kakek senang! “Rangga masih membujuk kakek.
“Kalau kakek menjual sawah kakek, kakek bakal
banyak uang. Kakek juga ga usah capek ke sawah, nanam padi , ngurusin sawah
kakek kan udah harus istirahat gak boleh capek, Gak usah mikirin beras, kan
sekarang masih ada yang menjual beras di kampung sebelah jadi, kakek bisa beli
beras di kampung sebelah. Kakek jadi gak capek kan?” Heri terus melihat kakek
sambil membujuk.
“ Nanti juga bisa bekerja di pabrik itu,
Dengan mesin canggih modern saat ini kakek bisa mendapatkan penghasilan
tambahan. Aku yakin konglomerat itu pasti akan membutuhkan karyawan yang banyak
bukan begitu ke!” Ujar rangga.
“ Tidak ! kakek tidak sudi bekerja untuk
mereka!” Ujar kakek dengan penuh emosi. Apalagi pada orang asing! Sudah cukup
Negara kita di jajah oleh orang asing dengan kekerasan. Dan sekarang nak rangga
akan memberika peluang pada orang asing dengan lembut, dengan menggeruk
kekayaan yang ada di kampung ini! Apakah nak rangga mau kampung kita berubah
sekali dengan saat ini. Tindakan yang bodoh jika kita menjual sawah kita dan
bekerja kepada mereka, Itu sama saja membunuh sendiri!”kakek Nampak emosi suaranya mulai meninggi.
Aku
mengintip rangga di balik pintu kamarku, aku heran dengan pernyataan kakek,
rangga mulai memucat, Mesti rangga sudah membujuk kakek, tapi tetap saja gagal,
kakek tetap pada pendirian nya.
“Nak
Rangga’kan sekolah . Di sekolah pasti belaar bangsa kita dari mulai penjajahan
sampai kemerdekaan kan? Sejarah bukan hanya mengenang jasa jasa pahlawan kita
tapi, menjadi bahan evaluasi jangan mengulangi dan terulang kembali!” Ujar
kakek.
Aku jadi bingung dengan kakek. Dari mana
kakek belajar tentang sejarah? Sedang kakek mengenyam SD pun tak pernah.
“ Jika kita membiarkan konglomerat
itu menguasi kampung kita. Berarti kita terus terusan mengulangi kesalahan. Apa
nak Rangga mau kalau anak cucu kita kelaparan karena kehilangan penghasilan?
Pokoknya kakek tidak akan mau menjual sawah ini.
Rupanya kakek sudah sampai pada
keputusan final. Meski Rangga sudah membujuk kakek tapi hasilnya nihil,
Akhirnya Rangga pun pergi
Otakku rasanya panas, membuatku
susah tidur, tapi mata ini belum mengantuk. Aku beranjak dari tempat tidur
untuk menyalakan kembali. Kubuka jendela kamarku. Mungkin lebih baik , aku
butuh ketenangan .
Kulihat lampu tetangga masih
menyala, sayup sayup mulai terdengar di suaraku suara ngobrol di rumah tetangga
ku. Rupanya mereka belum tidur. Beberapa orang sedang berkumpul di rumah pak
Komar. Kadang terdengar suara renyah mereka.
“ Lalu
aku pergi kerumah bibiku, di kampung sebelah.Mereka hidup sederhana, nasi pun
bau apek dan bau. Lalu aku bercerita panjang lebar tentang keinginanku saat
ini. “ Nak Guguh tidak gampang menjual sawah itu, bibi bercerita sambil
meneteskan air mata. Sebelum bibi menjual sawah bibi hidup bibi makmur, makan
pun tidak dengan nasi aking, “Ujar bibi. Lalu kenapa bibi maaf sebelumnya,
“Menjadi hidup pas pas an? Dulu hasil panen selalu gagal, karena limbah pabrik
yang selalu mencemari sawah kami, lalu keadaan kami semakin menurun, penghasilan menipis. Lalu
kami memutuskan untuk menjual sawah kami kepada konglomerat . Setelah itu hidup
kami menjadi susah, untuk makan saja tidak ada, Pamanmu sulit mendapatkan pekerjaan”.Kulirik
bibi raut wajahnya penuh kekecewaan dan kesedihan yang mendalam. Aku geram
mendengarnya. Tega sekali mereka, membiarkan orang menderita.
Bi,
siapa sih pemilik pabrik tekstil itu? “Tanyaku kesal
“Orang asing. Hah orang asing? Seruku kaget. Aku bagaikan
di sambar petir di siang bolong, Orang yang akan membeli sawah ku juga orang
asing. Ternyata kakek benar semua ini pasti ada dampaknya . Aku tidak berpikir
panjang tentang dampak negatifnya.
Dari
cerita tersebut, aku akan segera pulang dan mencegah warga kampung untuk tidak
menjual sawahya. Dengan semangat aku berlari ke terminal. Di terminal aku lihat
kakek. Lalu aku menghampirinya.
“Teguh….,” suara kakek terdengar
lirih.”Kakek sudah mengira kamu pasti ke rumah bibimu”.
“Maafkan aku, kek? Aku tidak akan
memaksa lagi untuk menjual sawah kita”.
“Justru kakek
datang kesini mau ngasih kabar bagus buatmu?,
Kabar bagus?” tanyaku dalam hati.
“Keinginanmu untuk membeli sepeda motor akan segara terwujud. Kakek bersedia
menjual sawah kita. Kakek tidak ingin membiarkan terus memimpikan motor itu.
Ayo kita pulang, Nak!”Mumpung konglomerat itu masih ada di kampung kita.
“Kakek tidak usah menjual sawah
kita!”Cegahku.
Loh kenapa?”Tanya
kakek seperti heran dengan keputusanku,”Para petani sudah menjual sawah kampung
tadi pagi. Mungkin sekarang sudah dibelanjakan.”
“Padahal tadinya aku akan mencegah
warga kampung agar tidak menjual sawah sawah nya.”Ucapku kecewa,”Apa yang dulu
kakek katakan, semua benar. Aku baru paham ,kek!Maafkan aku kek!”.
“Syukurlah
jika kamu sudah mengerti. Berarti aku terlambat untuk mempertahankan sawah
sawah milik warga, kek?”Aku semakin kecewa dan bersalah.
“Tidak
ada kata terlambat ! Kita masih bisa mempertahankan sawah kita!”Kakek
mengajakku berdiri dan memberi semangat.
Tapi
bagaimana pun aku tetap merasa bersalah dan kecewa pada diriku sendiri.
Bagaimana nasib warga kampungku kelak? Akankah seperti warga di kampung bibiku?
SELESAI